Pernikahan Pertama Rasulullah (1)
  • Judul: Pernikahan Pertama Rasulullah (1)
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 15:41:34 25-9-1404

Bahwa cinta hanya memiliki satu ukuran, dan itu adalah kematian. Pada akhirnya cinta sejati adalah kematian, dan hanya cinta yang berakhir dengan kematianlah yang benar-benar merupakan cinta. (Milan Kundera)

Pernikahan itu tak biasa. Mempelai perempuannya lebih tua daripada Muhammad, dan meski pelbagai riwayat bervariasi dalam menyebut selisih usianya, kebanyakan menetapkan usia perempuan itu empat puluh tahun dan usia Muhammad dua puluh lima tahun. Namun, bukan hal ihwal inilah yang membuat pernikahan itu tidak biasa.

Kecuali, bagi banyak sarjana Barat. Mereka mengungkapkan lebih banyak hal tentang diri mereka sendiri tinimbang tentang Muhammad, ketika mengasumsikan bahwa pernikahan itu pastilah merupakan pernikahan demi keuntungan. Utamanya, keuntungan finansial. Muhammad menikahinya demi harta, mereka menuduh–sindrom “janda kaya”–karena bagi mereka sangat jelas. Muhammad tak mungkin tertarik pada perempuan itu.

Satu atau dua orang sarjana dengan kecenderungan psikoanalisis membayangkan bahwa Muhammad melihatnya sebagai sosok ibu, si anak yatim mencari pengganti figur ibu yang hilang pada usia enam tahun. Tampaknya hanya sedikit yang menganggap bahwa Muhammad benar-benar mencintainya.

Sebenarnya perbedaan usia tidak banyak berarti dalam sebuah kebudayaan di mana pernikahan ganda adalah hal ihwal yang lumrah. Entah pernikahan beruntun karena kematian atau perceraian, atau poligami di kalangan elite, praktik itu berarti bahwa seorang bibi mungkin lebih muda daripada keponakannya, seorang saudara tiri mungkin saja lebih tua satu generasi tinimbang saudara tiri lainnya, dan seorang sepupu yang berusia seperti seorang paman atau keponakan. Bagaimanapun, tentu saja benar bahwa hanya sedikit dari pernikahan semacam ini yang terjadi pada pasangan yang saling mencintai. Sebagian besar merupakan perjodohan politik atau finansial, yang mengikat satu kabilah atau suku dengan yang liyan.

Ini tak berarti bahwa cinta romantis itu tidak ada. Para penyair pra-Islam merayakan cinta romantis dengan sangat detail, hanya saja tidak dalam batas-batas pernikahan, yang merupakan urusan pragmatis, bukan urusan romantis.

Namun, hubungan antara Muhammad ibn ‘Abdullah dan Khadijah binti Khuwaylid tampaknya sama sekali tidak bersifat pragmatis, dan inilah yang benar-benar membingungkan para sarjana. Penjelasan paling meyakinkan dari pernikahan monogami mereka yang berlangsung lama adalah penjelasan yang juga paling sederhana: mereka memiliki ikatan cinta dan kasih sayang yang mendalam.

Khadijah menjadi salah satu sosok paling sentral bagi penerimaan Muhammad terhadap peran publiknya, tetapi ia melakukannya dengan begitu diam-diam, hanya berkontribusi sedikit terhadap penciptaan mitos perihal sosok Muhammad di masa mendatang, karena ia meninggal dunia sebelum suaminya mulai menarik dukungan dalam skala luas.

Lama setelah kematiannya, Muhammad akan memuliakannya jauh di atas istri-istrinya yang lebih kemudian, dengan menyatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menemukan cinta seperti itu lagi. Bagaimana dia bisa demikian, ketika dirinya sudah menjadi pemimpin agama baru yang tengah berkembang pesat–nabi yang dihormati, utusan Allah Swt, semua orang berebut mendekati dirinya, berebut didengarkan olehnya?

Khadijah mencintai Muhammad karena sosok Muhammad itu sendiri, bukan karena sosok Muhammad di masa mendatang. Dan Muhammad tidak akan pernah melupakan Khadijah di tahun-tahun belakangan itu, dia berubah pucat oleh dukacita saat mendengar suara apa pun yang mengingatkan dirinya kepada sang istri.

Oleh karena itu, yang membuat pernikahan tersebut tidak biasa bukanlah perbedaan usia si antara mereka, tetapi kedekatan mereka, terutama mengingat perbedaan dalam status sosial antara sang suami dan sang istri. Dan fakta bahwa Khadijah-lah yang melamar Muhammad.

Ibnu Ishaq mengagak-agihkan Khadijah sebagai “saudagar perempuan yang bermartabat dan kaya, seorang perempuan yang teguh, mulia, dan cerdas”. Tidak biasanya mendapati lema “teguh” dan “cerdas” digunakan untuk menggambarkan perempuan pada masa itu, tetapi dalam kasus Khadijah, kata-kata itu sepenuhnya sesuai.

Dua kali menjanda, ia mewarisi saham suami keduanya di kartel kafilah Makkah, yang berarti bahwa ia mapan secara finansial–tidak sekaya para saudagar Makkah terkemuka, namun tentu saja hidupnya mapan.

Khadijah kini punya pilihan: ia bisa menjual bisnisnya kepada salah satu kubu perdagangan yang kuat atau melanjutkannya sepada saudagar independen, dalam hal ini ia membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya untuk mewakili kepentingannya dalam kafilah dagang. Seseorang pengelola bisnis, terutama, yang tahu betul tentang perdagangan dan tidak akan mendahulukan kepentingan sendiri di atas kepentingannya.

Pada 695 M., ia mempekerjakan Muhammad untuk menjadi perwakilannya dalam kafilah jurusan Damaskus dan, menurut satu riwayat, mengirim seseorang pelayan tepercaya bersamanya yang diperintahkan untuk melaporkan kembali bagaimana Muhammad menangani pekerjaannya. Si pelayan, budak bernama Maisarah, kembali dengan sebuah cerita yang menggemakan ramalan Bahira lima belas tahun sebelumnya.

Muhammad berteduh di bawah sebuah pohon di dekat kediaman seorang biarawan di Suriah, katanya, dan sang biarawan, yang melihat Muhammad di sana, terkagum-kagum.

“Tidak ada yang pernah berhenti di bawah pohon ini selain seorang nabi,” ujarnya kepada Maisarah, yang kemudian menambahi keajaiban itu dengan menyatakan bahwa saat panas semakin menyengat mendekati siang hari pada perjalanan pulang, ia melihat dua malaikat menaungi Muhammad.

Tampaknya agak menghina Khadijah jika kita menyimpulkan, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Ishaq, bahwa laporan inilah yang mendorongnya melamar Muhammad. Itulah yang jadi persoalan dalam ksiah-kisah mukjizat: jika kita menelitinya lebih cermat, kisah-kisah itu cenderung menjadi bumerang. Kisah yang satu ini menyiratkan bahwa tanpa sang biarawan dan malaikat, Khadijah tidak akan pernah mempertimbangkan pernikahan itu, meski ia nyaris tidak membutuhkan orang lain untuk mengatakan kepada dirinya bahwa Muhammad adalah seorang manajer yang dapat dipercaya, atau bahwa Muhammad memiliki sesuatu dalam dirinya.

Muhammad telah membangun reputasi yang mengagumkan dalam masa kerjanya dengan Abu Thalib. Alih-alih melakukan tawar-menawar tanpa henti, dengan menawarkan harga yang lebih rendah dan menuntut bayaran yang lebih tinggi daripada yang dia tahu akan dia dapatkan, Muhammad menawarkan harga yang adil sebagai permulaan–dan karena terkenal sebagai orang yang adil, dia mendapatkan barang-barang yang berkualitas bagus sebagai balasannya.

Muhammad tidak pernah mengambil potongan tambahan untuk dirinya secara sembunyi-sembunyi, atau memalsukan laporan pengeluaran (praktik-praktik macam ini sama tuanya seperti perdagangan itu sendiri), sehingga pasca Abu Thalib menolak dirinya menjadi menantu, dia menjadi wakil independen yang banyak dicari, bekerja untuk mendapat komisi. Dia adalah seorang lelaki yang dapat dipekerjakan, tanpa memiliki kepentingan diri sendiri untuk diperjuangkan, hingga ke tingkat di mana dia tampaknya hampir memandang rendah motivasi profit yang menguasai Makkah.